Salman alfarisi, seorang lelaki Persia dari Isfahan, warga suatu desa bernama Jai dan dia telah dipersaudarakan dengan Abu dharda ketika beliau sampai di madinah. Di madinah, salman alfarisi telah jatuh cinta dengan seorang muslimah. Namun dia terfikir, melamar seorang gadis tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang maka dia sampaikan hajatnyer kepada abu dharda bg menjadi wakil berbicara untuknya dalam khithbah.
.jpg)
Mereka berdua pun berangkat menemui ayahanda gadis tersebut. Abu dharda memulakannya. ”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Maka disampaikan hajat salman namun jawab ibnunya sebagai wakil, ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Dalam keadaan ini, bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesedaran bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara. ”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
>lihatlah bagaimana sikap salman alfarisi yang tidak mementingkan diri bahkan sanggup menawarkan diri menjadi saksi pernikahan itu. Subhanallah, indahkan ukhuwah mereka…
No comments:
Post a Comment